Tuesday, 14 February 2012

Merarik yang Nyaris Kehilangan Makna



Prakarsa Rakyat, Tradisi merarik dalam budaya masyarakat suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orangtua. Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah. Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik, karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok, ungkap pemerhati budaya Sasak, Lalu Pharmanegara. Pharmanegara mengatakan, dalam tradisi merarik seharusnya perempuan memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan masa depannya. Tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya. Pemerhati budaya Sasak lainnya, M Yamin, mengatakan bahwa secara etimologis merarik berasal dari kata arik (adik). Dengan demikian, sebagai terminologi, merarik bermakna mengambil perempuan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami memanggil arik terhadap istrinya. Kesan negatif merarik, menurut M Yamin, karena ia dilakukan diam-diam dan biasanya harus pada malam hari. Kalaupun bisa dilakukan siang hari, adat biasanya mengenakan konsekuensi tambahan. Yamin mengatakan, dalam merarik, tidak begitu saja anak perempuan diambil dari rumah orangtuanya. Beberapa aturan adat harus dipenuhi, di antaranya yang mengambil harus orang lain, bukan calon suami. Yang ditugaskan mengambil pun bukan hanya kaum lelaki, tapi juga ada kaum perempuan yang akan menemani calon pengantin sampai proses merarik selesai. Perempuan yang diambil pun tidak boleh dibawa langsung ke rumah calon suami, melainkan disembunyikan, atau dititipkan di rumah orang lain. Bahkan, supaya netral, perempuan yang di-ambil itu dititipkan di rumah tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, kepala desa, dan sebagainya. Upaya dan proses itu ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan pelanggaran adat dan agama. Dalam tradisi masyarakat Sasak, laki-perempuan yang akil-balik, saling pandang pun pantang, apalagi kontak fisik. Karenanya, dalam masa pacaran pun dikenal istilah subandar sebagai mediator kedua pihak. Setelah tiga hari sejak perempuan dibawa dari rumah orangtuanya, dimulailah proses negosiasi dengan keluarga calon pengantin perempuan oleh keluarga calon pengantin lelaki. Ini dilakukan berkoordinasi dengan aparat pemerintah desa, yaitu keliang (kini kepala dusun) di tempat pihak laki-laki dengan keliang di daerah asal calon pengantin perempuan. Tahapan ini disebut mesejati. Dalam mesejati dibicarakan perihal waktu bagi keluarga calon pengantin perempuan bersedia menerima keluarga calon pengantin lelaki. Kedatangan keluarga calon pengantin lelaki ke kediaman keluarga calon pengantin perempuan disebut selabar atau nyelabar (memberi kabar). Proses berikutnya, keluarga calon pengantin lelaki minta kesediaan ayah calon pengantin perempuan menikahkan anaknya. Setelah kepastian wali nikah didapat, dilaksanakan ijab-kabul. Tahapan selanjutnya adalah perjanjian untuk memastikan puncak proses adat diselesaikan, yang diwujudkan dalam bentuk prosesi adat sorong-serah ajikrama diikuti nyongkol (kunjungan pengantin lelaki-perempuan diiringi keluarga pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan). Acara ini biasanya disemarakkan dengan grup kesenian/gamelan dan rebana. Ada juga mempelai yang diusung memakai juli alias ditandu. Dalam puncak prosesi itu dilaksanakan begawe (pesta) di masing-masing keluarga. Mereka itulah yang bertindak sebagai pengiring dalam prosesi sorong-serah dan nyongkol. Begawe, sorong-serah dan nyongkol sebagai puncak proses adat itu, selain sebagai reuni keluarga, sekaligus momentum membangun ikatan sebuah keluarga besar (kadangjari, semeton jari). Mulai terkikis M Yamin melihat, makna kadangjari kini mulai kurang dipahami, dihayati, dan dilaksanakan karena terkikis oleh desakan materialisme, individualisme. Terlebih nyaris tidak ada lagi pranata sosial budaya, institusi dan nilai komunal yang menjadi pengikat komunitas Sasak. Dampaknya adalah mudahnya kawin-cerai, anak telantar, dan sumber daya manusia yang tidak terdidik. Bahkan, setelah suami-istri bercerai, sang anak di bawah asuhan ibunya, sedang suami tidak memberi hak gono-gini kepada bekas istrinya maupun biaya hidup bagi anaknya. Adanya kasus busung lapar, pekerja anak, anak jalanan, angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar adalah kisah buram yang mengisi realitas sosial budaya masyarakat Sasak kini. Persoalan itu berakar pada longgarnya ikatan komunal yang mengajarkan tanggung jawab bersama. Simbol-simbol budaya masih marak dilontarkan, diucapkan, namun tidak lebih sebatas slogan yang kehilangan makna, ungkap Yamin. Kondisi ini juga mencerminkan rendahnya posisi dan peranan perempuan dalam sistem budaya Sasak. Agak berbeda dengan sebelum era patrimonial dan feodalisme, di mana kedudukan perempuan sangat tinggi dan sentral, sehingga wajar dikenal adanya sebutan inan yang merupakan prominan perempuan, seperti inan kanak (ibu anak-anak), inan bale (penguasa rumah), dan sejenisnya. Kedudukan perempuan terlihat pula pada konsep midang (mengunjungi pacar). Dalam tradisi midang bisa terjadi seorang gadis di-apeli oleh beberapa pemuda. Soal pilihan sepenuhnya menjadi hak prerogatif sang gadis. Ini mengindikasikan betapa seorang gadis memiliki kebebasan dan hak demokrasi. Kenyataannya kini, peristiwa merarik sudah mulai jauh dari konsep sebenarnya. Dengan berkedok adat, tidak jarang perempuan Sasak yang kebetulan siswi dan masih mengenakan pakaian seragam sekolah dilarikan pada jam belajar. Itu dilakukan tanpa melalui proses midang, yang boleh jadi sebagai ajang seleksi dan identifikasi calon suami. Padahal belum tentu siswi itu bersedia dijadikan istri oleh lelaki yang membawanya. Lepas dari itu semua, peristiwa merarik yang menyalahi konsep asalnya itu adalah ekses dari penyederhanaan makna merarik yang disebut memaling. Tapi, perlu dipahami bahwa konsep merarik sebenarnya memberi tanggung jawab yang tidak ringan bagi kaum lelaki dan hak yang tinggi bagi kaum perempuan Sasak.

Sumber: KOMPAS

No comments:

Post a Comment