Berawal dari 8 Agustus 2008. Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah bisa kulupakan dalam hidupku. Aku meninggalkan tanah kelahiranku (Lombok-NTB) untuk merantau ke pulau seberang (Bandung-Jawa Barat). Berat rasanya untuk jauh dari keluarga. Tapi aku harus bisa mencobanya. Hari kamis, 7 Agustus 2008 merupakan detik-detik terakhir bagiku. Hari itu, aku pamitan ke rumah orang yang selama ini membesarkanku. Orang yang selama ini dengan begitu sabar merawatku dari kecil hingga dewasa. Dia adalah nenekku tersayang. Hari itu penuh dengan isak tangis. Bibi, paman, dan saudara-saudara dari nenek begitu berat untuk melepaskan kepergianku. Hari itu juga sekitar jam 16.00 WITA, paman mengantarkan aku ke rumah bunda untuk pamitan. Belum turun dari motor, bundaku sudah memberikan sambutan dengan sebuah tangisan. Tak tahan rasanya melihat bunda menangis. Beliau memelukku dengan erat. Tidak mau melepaskan pelukannya. Pelukan yang begitu hangat. Pelukan dari seorang ibu yang begitu tulus mencintai dan meyayangi anaknya. Bundaku memberikan begitu banyak pesan sebagai bekal di rantauan. Tak terasa jam demi jam telah berlalu. Saatnya aku pamitan dengan bunda untuk menuju ke rumah bapak. Tidak ada hentinya bundaku mengeluarkan air matanya yang begitu jernih. Air mata yang begitu berharga bagiku. Maafkan nanda bunda. Nanda harus pergi. Nanda sangat mengharapkan doa darimu bunda. Sekitar jam 18.00 WITA, pamanku dengan begitu sabar mengantarkan aku ke rumah bapak. Rumah bunda dengan rumah bapak lumayan jauh. Kira-kira 1 jam perjalanan. Sesampainya di rumah bapak, aku melihat ada seorang wanita duduk di kursi ruang tamu. Sepertinya wanita tersebut kukenal. Dan ternyata benar. Ia memang sangat kukenal. Bahkan lebih dari sekedar kukenal. Wanita itu adalah nenekku. Ternyata beliau mengikutiku ke rumah bapak. Beliau mengatakan “Nenek ingin nginap malam ini untuk menemani mu. Melepaskan detik-detik terakhir bersamamu. Besok jam 03.00 kamu akan pergi meninggalkan kami semua.” Aku tersenyum mendengar ucapan nenek. Tapi jujur, dalam hati aku menangis dan sedih.
Singkat cerita, hari Jum’at 8 Agustus 2008 jam 03.00 WITA semua orang di rumah sudah pada bangun. Mereka sudah siap-siap untuk mengantarkanku ke Bandara Selaparang Mataram-Lombok-NTB. Di saat kami sedang menyiapkan barang-barang yang harus aku bawa, tiba-tiba terdengar ada suara mobil. Tak lama kemudian, bapakku langsung keluar. Ternyata di dalam mobil itu ada bunda beserta rombongan yang akan mengantarkanku sampai bandara. Bapakku kaget dan langsung mengatakan “Kayak orang yang mau pergi naik haji saja.” Aku tersenyum. Sebuah senyuman yang menggambarkan kebahagiaan. Bahagia karena bundaku ternyata ikut untuk mengantarkanku sampai ke bandara.
Hari masih pagi. Dinginnya suasana hari itu menyelimuti tubuhku. Kemudian dengan perasaan sedih dan berat hati, aku langsung masuk ke dalam mobil. Menit demi menit dan jam demi jam, kami melewati perjalanan yang lumayan jauh. Adzan subuh dikumandangkan. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah pada tujuan kira-kira jam 05.00 WITA. Kami telah sampai di Bandara. Para rombongan yang mengantarkanku kemudian pergi untuk sholat subuh. Aku pun langsung pamitan dengan mereka karena jam 05.00 aku harus check-in. Seperti biasa, semuanya mengantar kepergianku dengan penuh isak tangis. Bundaku menangis. Aku tidak tega melihat bunda mengeluarkan air matanya. Aku sangat meyayanginya. Tidak ingin kubiarkan walau setitik pun air matanya yang keluar. Tapi aku mesti gimana lagi? Ia terus menangis dan memelukku dengan begitu erat. Kemudian aku pun bersalaman dengan semua keluarga yang mengantarkanku. Aku memeluk nenek, adik-adikku dan juga bapakku. Pada hari itu, bukan hanya hati yang menangis tapi juga air mataku jatuh tak tertahankan. Sekitar jam 05.30 aku langsung masuk menuju tempat check-in. Semakin jauh ku melangkah, keluargaku semakin tidak terlihat.
Pengalaman pertama naik pesawat. Aku tidak tahu bagaimana cara check-in. Tapi aku tidak malu untuk terus bertanya. Karena aku selalu mengingat pesan guru SMA ku “Malu bertanya sesat di jalan. Mau bertanya pasti ada jalan.” Tahap Check-in berhasil. Tahap selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Tapi karena sudah telat aku langsung disuruh masuk ke pesawat. Tidak lama kemudian, pesawatnya take off. Di atas pesawat aku hanya bisa beristighfar dan menangis. Hati ini sudah pasrah. Kuserahkan semuanya kepada sang penguasa, Allahu Rabbi. Ketika melihat ke bawah, hatiku terasa sesak. Tak dapat kubayangkan jika seandainya pesawat yang ku tumpangi jatuh. Alhamdulilah, dua jam kemudian aku sampai di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kemudian aku langsung mengaktifkan Handphone ku. Begitu banyak sms dan telephon yang masuk ke nomorku. Bunda, bapak, paman, bibi, menanyakan keberadaanku. Dengan senang hati aku menjawab bahwa aku telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Tapi aku bingung. Benar-benar bingung. Bingung mencari barang-barangku. Katanya barang-barangku disimpan di bagasi tapi aku tidak tahu bagasinya dimana. Kemudian muncul sebuah ide yang tidak kusadari. Aku ikuti saja rombongan yang satu pesawat denganku. Dan alhamdulilah barang-barangku selamat. Tahap berikutnya adalah perjalanan menuju ke Bandung. Aku tidak tahu mesti naik apa. Akhirnya aku menelpon seorang teman abangku yang kuliah di UPI. Aku dikasih nomor telephonnya oleh abangku. Namanya Teh Seni jurusan Matematika 2004. Beliau menyuruhku untuk naik travel. Aku pun bertanya travel yang mau ke Bandung. Luar biasa, Jakarta-Bandung merupakan perjalanan yang begitu jauh. Baru pertama kali aku melakukan perjalanan yang begitu jauhnya luar biasa. Sejauh-jauhnya perjalanan di Lombok tidak sejauh yang aku rasakan pada saat itu. Jam demi jam telah kulalui melalui sebuah perjalanan indah tapi sedikit membuat badanku pegal. Akhirnya, sampailah aku di sebuah kampus, Universitas Pendidikan Indonesia. Disana, aku ditunggu oleh seorang akhwat yang begitu sholehah dan cantik. Ia adalah Teh Seni. Kemudian aku diajak untuk naik becak menuju ke kos. Aku tidak ingin naik becak. Aku tidak tega melihat sopir becak yang menggocangkan sepedanya sampai mengeluarkan keringat. Terlebih, sopirnya sudah agak tua. Dalam hati aku mengatakan “Ternyata hidup di kota itu pahit. Tidak seindah yang aku bayangkan.” Naik becak memang nikmat tapi hati tak tega. Beberapa menit kemudian sampailah kami pada sebuah gang yang menuju ke kosanku. Lumayan jauh, tapi diri ini tetap bersabar. Akhirnya, sampailah pada sebuah rumah kecil “Pondok Aisyah.” Hatiku bahagia karena sudah sampai di tanah rantauan. Di sebuah rumah kecil yang akan menjadikan aku untuk lebih memahami makna dan hakekat kehidupan.
Tanpa terasa, seminggu sudah aku di Bandung. Selama itu, aku diajak untuk mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjungi pariwisata ketika ke Bandung. Dan yang paling menarik adalah hari ke delapan. Aku diajak untuk ikut aksi. Ya akupun terima ajakan Teh Seni. Aksi hari itu adalah aksi pertamaku. Aksi damai dan harus memakai pakaian seragam. Aku tidak pakai seragam (warna coklat) seperti akhwat lainnya karena aku orang baru di Bandung. Aku biasa saja. Dengan wajah yang masih polos dan lucu, aku cuek-cuek saja. Luar biasa, aksi itu ternyata menyenangkan juga. Banyak pengalaman yang aku dapatkan dari aksi pertamaku itu. Belum resmi jadi mahasiswa, eh sudah ikut aksi. Kata abangku “Menjadi mahasiswa itu baru terasa manakala kita sudah ikut aksi.” Maklum katanya abangku adalah salah satu mahasiswa UNHAS Makasar yang suka teriak di jalanan. Menyanyikan nasyid bersama Tim Nasyidnya “Gaza Nasyid” di setiap kali ada aksi.
Dua minggu kemudian setelah aksi, aku ikut MIMOSA di kampus. Sebuah kegiatan seperti ospek. Pada saat itu, aku sakit. Katanya aku belum bisa beradaptasi dengan iklim di Bandung. Lombok-NTB lumayan panas, tapi setelah di Bandung dinginnya luar biasa. Walaupun sakit, aku tetap mengikuti MIMOSA. Dua hari kemudian aku jatuh dari sebuah tangga kos temanku. Tangan dan kaki ku kena luka sampai mengeluarkan darah. Aku langsung menelphon ke rumah. Bundaku teriak menangis. Ada perasaan menyesal memberitahu beliau. Karena seperti aku bilang sebelumnya bahwa aku tidak ingin ada air mata bundaku yang jatuh. Lagi,,,lagi,,,aku melakukan kesalahan. Aku kemudian, dikirimkan obat dari rumah. Alhamdulilah tidak lama kemudian rasa sakitku bisa terobati. Bundaku bisa tersenyum kembali.
Dua bulan kemudian, ramadhan telah tiba. Penyakit ku yang waktu SMA kambuh lagi. Penyakit yang begitu menyeramkan. Penyakit yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya. Tapi itulah cobaan yang mesti aku hadapi bukan untuk dihindari. Aku tidak ingin jadi pecundang tapi yang aku inginkan adalah menjadi seorang pemenang. Dimana seorang pemenang adalah selalu melihat tantangan sebagai peluang. Setiap hari bundaku menelphon menanyakan kesehatanku. Di setiap kali beliau menelphonku pasti beliau menangis. Bunda, nanda rindu padamu. Selama aku sakit, berat badan jadi menurun. Ingin rasanya pulang. Tapi aku harus belajar sabar. Hari demi hari, lebaran telah tiba. Semua teman-teman kos mudik. Aku tinggal seorang diri di kos. Tapi aku bersyukur masih punya sahabat yaitu Handphone jadulku yang selalu menemani. Di saat aku kangen, aku bisa sms dan menelphon ke rumah. Dan alhamdulilah ternyata aku baru tahu bahwa banyak teman-teman dari NTB yang kuliah di UPI. Itu artinya bahwa aku tidak sendiri. Aku kemudian sering main ke asrama NTB yang di UPI. Lebaran pertama di daerah rantauan. Sholat Idul Fitri di masjid kampus. Hati menangis. Wajah keluarga terbayang-bayang. Tertanam kerinduan yang mendalam dalam hati ini. Akupun kemudian menelphon ke rumah. Sebuah pembicaraan yang penuh dengan isak tangis.
Beberapa bulan setelah lebaran, aku dapat kabar bahwa bundaku masuk Rumah Sakit. Aku ingin pulang. Aku ingin menemani bunda. Tapi bundaku mengatakan “Bunda tidak apa-apa nak. Insya Allah bunda sehat-sehat saja. Sekarang tugas nanda adalah belajar. Berikan yang terbaik untuk semua orang.” Aku menangis mendengar pesan dari bunda. Begitu halnya dengan bunda, ia pun ikut menangis. Bulan demi bulan, bundaku tidak sembuh-sembuh dari sakitnya. Aku ingin pulang untuk memeluknya. Merawat dan berada di sampingnya di saat beliau sakit. Tapi beliau melarangku untuk pulang. Beliau tahu sikap dan sifatku. Beliau tahu kalau aku tak suka bolos. Beliau menginginkan aku menjadi anak yang sukses, tentunya sukses dunia dan akhirat. Hari Rabu 24 Juni 2009, aku menelphon ke rumah. Keluargaku lagi di rumah sakit jaga bunda. Aku pun ngobrol sama bunda walau hanya lewat telephon. Beliau memberikan aku begitu banyak pesan. Aku dan bunda menangis. Ya..Allah begitu berat cobaan ini. Hari besoknya, 25 Juni abangku pulang dari Makasar. Beliau juga seorang perantau. Menggali ilmu di Universitas Hasanuddin. Katanya, pada hari itu bunda kelihatannya segar seperti orang yang sudah sembuh ketika melihat kepulangan abangku. Tapi hari Jum’at dini hari jam 02.00, bundaku pergi untuk selama-lamanya. Beliau pergi di saat berada dipangkuan abangku. Sebelum beliau pergi, kata abangku “Bunda meminta abang untuk membacakan ayat Al-Qur’an. Di saat kepergiannya, beliau sempat mengucapkan syahadat.” Tapi sayangnya, aku tidak dikasih tahu bahwa hari itu bunda sudah meninggal. Padahal hari itu aku menelphon ke rumah. Aku tidak bisa merawat saat bunda lagi sakit. Aku tidak ada di sampingnya di saat beliau membutuhkanku. Aku tidak bisa memandikannya, menyolatkan dan bahkan sampai beliau dimakamkan aku tidak ada di sampingnya. “Allahu Rabbi, kenapa tak ada seorang pun yang memberikan aku kabar tentang kepergian bunda? Kenapa aku anaknya tidak boleh tahu?”
Senin, 29 Juli 2009 aku pulang ke Lombok. Jam 01.00 aku baru tiba di rumah. Aku disambut dengan tangisan bibi dan hati ku sudah berkata lain. “Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Aku kemudian langsung dibawa pulang. Tapi aku tidak ingin pulang. Aku ingin menemani bunda di rumah sakit. Aku sudah membelikan 2 buah jilbab pesanannya. Tapi bapakku mengatakan “Nanda harus pulang dulu. Nanda harus istirahat.” Akhirnya aku mengikuti kata-kata bapakku. Di sepanjang perjalanan, bapak dan bibiku mencoba untuk menenangkanku dengan humorisnya. Perjalanan panjang tidak terasa. Akhirnya sampailah kami di rumah nenek. Banyak orang yang menunggu kepulanganku. Mereka menyambutku dengan tangisan bukan senyuman. Aku bingung kenapa semuanya menangis. Akhirnya aku diceritakan bahwa bunda telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku menangis memeluk nenek dan abangku. Kemudian abangku mencoba untuk menenangkanku dengan sebuah tausiyah tentang kematian. Menceritakan bagaimana dulu perjalanan hidup Rasulullah SAW ketika masa hidupnya. Aku pun sedikit tenang dengan tausiyahnya. Aku jadi teringat saat bunda mengantarkan aku ke bandara. Pertemuan terakhir di Bandara Selaparang dan di luar dugaan sekaligus perpisahan untuk selama-lamanya bersama bundaku tersayang.
Malam telah berlalu. Pagi pun menyapa. Aku bergegas lari ke makam bunda. Aku hanya bisa melihat dua nisan berdiri mati. Aku pun menangis. Menangis karena rindu ingin bertemu dan memeluk bunda. Abangku mengerjarku sampai ke makam bunda. Beliau tidak henti-hentinya memberikaku tausiyah. Subhanallah, tausiyah yang begitu menyentuh hati. Selamat jalan bundaku tersayang. Nanda yakin bahwa Allah lebih mencintaimu. Allah adalah sebaik-baik pelindung. Hanya kepada-Nya lah kita akan kembali. Nanda yakin bahwa bunda tidak menginginkan adanya tangisan nanda tapi yang bunda inginkan dan butuhkan adalah doa dari anak-anak bunda yang sholeh-sholehah. Insya Allah doa nanda dan Abang Dede selalu menyertaimu. Semoga bunda selalu tersenyum. Dikumpulkan di Jannah-Nya Allah bersama para mujahadah dan istri para nabi. Amiiin…
Alladziina idzaa ashaabat-hum mushiibatun qaaluu innaa lillaahi wa-innaa ilayhi raaji’uuna. ulaa-ika ‘alayhim shalawaatun min rabbihim warahmatun waulaa-ika humu almuhtaduuna. Artinya: (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah 156-157)
wassalam…
No comments:
Post a Comment